Seminar Publik: “Bertahan dalam Badai Global: Strategi Negara-Negara Kecil Menolak menjadi Korban”

Bandung, 18 September 2025 – Program Studi Hubungan Internasional UNPAR mengadakan seminar publik berjudul “Bertahan dalam Badai Global: Strategi Negara-Negara Kecil Menolak menjadi Korban”. Seminar ini diadakan sebagai pre-event dari International Conference on International Relations (ICON-IR) 2026 yang juga akan diadakan oleh Prodi HI. Sebagai pre-event, seminar ini berkaitan dengan berkaitan dengan tema dari ICON-IR,”The Weak [not] suffer what they must, the strong do what they can.” Kedua tema besar tersebut, terinspirasi dari dua kondisi dalam politik global kontemporer. Pertama, kondisi global kontemporer yang sedang tidak baik-baik saja dengan berbagai krisis. Mulai dari krisis kemanusiaan di Palestina, Sudan, Ukraina, dan tempat-tempat lainnya, krisis iklim secara global, kesenjangan dalam ekonomi internasional dan nasional, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok serta tarif dari Presiden Trump, krisis sosial seperti kesetaraan gender, inklusi, berkembang dan mainstreaming dari kelompok sayap kanan terutama di negara-negara barat, terkikisnya ketertiban internasional serta rezim liberal barat termasuk efektivitas organisasi-organisasinya, serta isu-isu lainnya. Kedua, di tengah kondisi yang sedang tidak baik-baik saja, termasuk terkikisnya rezim internasional ala barat yang diklaim berbentuk ‘ruled-based international system’, hukum rimba kembali akibat aturan yang tidak lagi dipatuhi dan diterapkan. Dalam hukum rimba ini– dimana adu kekuatan menjadi cara untuk bertahan hidup– negara-negara kecil yang tidak memiliki kekuatan menjadi yang paling terancam. Dengan memparafrasekan kutipan dari Thucydides tentang Melian Dialogue, seminar publik dan ICON-IR ingin menggali tentang bagaimana cara agar negara-negara kecil tidak menjadi korban dalam hukum rimba politik global kontemporer ini.

Untuk menjawab dua latar belakang tersebut, tiga narasumber telah diundang untuk memberikan pandangan-pandangan mereka tentang tema yang telah ditentukan. Pertama, Andi Widjajanto, memberikan poin utama bahwa dalam politik global Indonesia idealnya harus mampu melakukan balancing– mengimbangi poros-poros kekuatan utama. Namun, karena secara realita Indonesia tidak mampu melakukan balancing, maka Indonesia kemudian disarankan untuk melakukan hedging– tindakan yang dapat dikatakan pragmatis untuk mencari pemenuhan kepentingan dengan menavigasikan kebijakan di antara poros kekuatan yang ada. Kebijakan hedging ini kemudian disarankan untuk dilakukan sampai Indonesia mampu mengimplementasikan balancing.

Pemapar kedua, Zulfikar Rahmat, menjelaskan bahwa cara untuk bertahan dalam kondisi politik global ini adalah bahwa Indonesia harus sadar akan posisinya dan melakukan diversifikasi hubungan diplomatik. Dalam hal pertama, Zulfikar memberikan penekanan dalam hubungan Indonesia-Tiongkok. Menurut Zulfikar, selama ini, pemerintah Indonesia lebih menekankan bahwa Indonesia yang membutuhkan Tiongkok, dan bukan sebaliknya. Akhirnya, ketika dilakukan proses negosiasi kerja sama, Indonesia memposisikan diri sebagai yang lebih membutuhkan dan menjadikannya tidak bisa menawar atau tidak memiliki leverage. Akibatnya, dalam berbagai kerja sama yang dilakukan, Indonesia berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tiongkok yang mendapatkan keuntungan lebih banyak. Zulfikar menambahkan bahwa pemerintah Tiongkok juga membutuhkan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari ekonomi Tiongkok yang ‘lapar’ akan bahan mentah dan pasar dan Indonesia mampu menyediakan hal tersebut. Sehingga, seharusnya posisi tawarnya tidak setimpang yang ada sekarang. Di sisi lain, dalam hal diversifikasi, poin utama Zulfikar adalah Indonesia sebaiknya tidak hanya bergantung pada mitra tradisional diplomasi Indonesia dan harus menambah jumlah mitra non-tradisional lainnya. Salah satu yang menurutnya dapat didekati adalah negara-negara di Timur-Tengah dan Afrika Utara.

Dalam paparan terakhir, Evi Mariani lebih berfokus pada aktor hubungan internasional non-negara. Dia berfokus pada interaksi antara AS dan negara-negara lainnya, secara khusus dalam nilai-nilai jurnalisme. Menurut Evi, AS – dan barat – tidak lagi dirasa sebagai kutub rujukan jurnalisme ideal karena mitos objektivitasnya sudah runtuh ketika mereka menjadi bagian diskriminatif terhadap kaum sosial dan/atau ekonomi marjinal. Evi menambahkan bahwa jurnalisme tidak bisa diam berjarak dari objek ketika ada ketidakadilan struktural.Ketidakadilan struktural harus dilawan dengan media yang membela kaum tertindas demi mewujudkan ‘well-informed society’. Selain itu, di Indonesia kondisi diperparah dengan media yang masih berkiblat ke ‘barat’,terkonsentrasi pada kelompok para oligarki, turun ke ‘lapangan’ melalui sosial media dan internet, serta paradoks information clutter dan news desert. Lalu, bagaimana masyarakat biasa yang juga bagian dari negara atau aktor kecil dalam politik global dapat bertahan hidup? Menurut Evi, atensi harus diberikan pada media alternatif– media kecil yang memberikan ruang bagi narasi tandingan, yang belum tentu sejalan dengan narasi arus utama.