#SeminarPublik2025 Indonesia dan Ketidakpastian Global Dalam Menyongsong Peringatan Ke 70 Tahun

Penulis: Gracelia Yoshanty
Editor: Angelica Karin

Politik global yang terjadi saat ini sangat tidak menentu. Berbagai peristiwa terjadi belakangan ini—naiknya Trump menjadi presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya dengan berbagai kebijakan yang bersifat tidak menentu, reaksi Cina sebagai ‘aspiring super power’, Rusia yang berusaha menunjukkan diri sebagai great power di kawasan, hingga semakin tidak relevannya multilateralisme dan tata kelola global. Sedangkan Indonesia dengan pemerintahan barunya masih beradaptasi menjalankan kebijakan luar negerinya, dan yang agak shaky menghadapi berbagai permasalahan di tataran global. Lalu, bagaimana posisi Indonesia dalam kebijakan luar negerinya di tahun 2025? Hal ini terkait juga dengan modalitas Indonesia yang disebut sebagai middle power yang memiliki aspirasi sebagai hub bagi negara-negara di belahan bumi bagian selatan (global south) serta dengan track record sebagai pemain utama yang mengikat negara-negara Asia dan Afrika melalui Dasasila Bandung pada tahun 1955, yang kebetulan tahun ini tepat berusia 70 tahun. Pembahasan ini menjadi topik utama seminar publik yang diadakan Prodi Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan yaitu “Indonesia dan Politik Global: 70 Tahun KAA, Politik Great Power, dan Global South”, yang diadakan pada hari Kamis, 27 Februari 2025. Terdapat tiga ahli yang menjadi narasumber— Dr. Lina A. Alexandra dari Department of International Relations Center for Strategic and International Studies (CSIS), Dr. Ahmad Rizky M. Umar dari Department of International Politics, Aberystwyth University, dan Dr. Stanislaus Risadi Apresian dari Prodi Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Kegitan ini diikuti ratusan peserta yang dilaksanakan secara hybrid dari Ruang Advis FISIP UNPAR dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube @Ngobrolin HI sebagai seminar pembuka semester genap 2024/2025 ini.

Dalam paparannya, Dr. Lina Alexandra menjelaskan kondisi politik global saat ini dan bagaimana dampaknya terhadap global south. Kembalinya Donald Trump ke puncak pemerintahan Amerika Serikat dinilai menjadi salah satu peristiwa yang merubah arah politik global saat ini. Trump langsung mengeluarkan sejumlah sikap setelah ia kembali menjadi presiden Amerika Serikat–menjadi ‘lebih hangat’ terhadap Rusia, mengesampingkan multilateralisme, memberlakukan tarif terhadap barang-barang Cina-Meksiko-Kanada, hingga menaikkan kembali tagline “Make America Great Again” sebagai kebijakan utama Amerika Serikat. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Trump ini tentu merubah sikap Amerika Serikat menjadi transaksional dan hal ini berdampak pada negara-negara lain termasuk Indonesia. “Amerika Serikat dulunya norm champion, sekarang menjadi norm violator”, ujar Lina.


Ketidakpastian global yang saat ini terjadi tentu membawa dampak signifikan bagi banyak negara, khususnya untuk negara global south seperti Indonesia. Tariff policy yang diterapkan Amerika Serikat pada segala sesuatu yang berhubungan dengan Cina memaksa negara-negara global south mau tak mau harus memilih mengingat pemberlakuan tariff policy ini membuat supply chain mereka terganggu. Tak hanya menyoroti dampak diberlakukannya tariff policy oleh Amerika Serikat, Lina juga menyoroti bagaimana dampak politisasi ekonomi yang dilakukan negara-negara adi daya terhadap melemahnya hubungan kerjasama antar negara, khususnya bagi negara-negara global south. Bagi negara global south, hal-hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang tersendiri –tergantung dari sisi mana negara-negara global south melihat peristiwa tersebut. Indonesia, sebagai anggota terbaru BRICS sudah sepatutnya bersiap-siap menghadapi ancaman Amerika Serikat. Pasalnya Amerika Serikat mengancam akan memberlakukan tariff 100 persen terhadap negara-negara yang memilih untuk melakukan dedolarisasi. Tak hanya itu, keanggotaan Indonesia di BRICS pun nyatanya dapat membuat akses terhadap supply dari Amerika Serikat menyempit.


Panelis kedua yaitu Dr. Stanislaus Risadi Apresian, melihat posisi Indonesia dalam politik iklim global. Politik iklim global saat ini sedang banyak diperbincangkan semenjak Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat akan keluar dari Paris Agreement. Alhasil muncul pembahasan apakah Indonesia masih relevan dengan isi dan tujuan dari Paris Agreement, ketika Amerika Serikat sendiri sudah mau keluar dari perjanjian tersebut. Menurut Mas Apres–panggilan Dr. Stanislaus Risadi Apresian, Indonesia masih perlu bertahan dalam ketentuan Paris Agreement. Keluarnya Amerika Serikat tidak mempengaruhi Indonesia, lantaran memang dalam kurun waktu lima tahun belakangan Amerika Serikat telah keluar masuk Paris Agreement tergantung siapa presidennya. Ada atau tidak adanya Amerika Serikat dalam Paris Agreement tidak membuat Paris Agreement berhenti.


Isu lingkungan menjadi isu global penting. Bagi sejumlah negara seperti Amerika Serikat, memang isu lingkungan saat ini bukan menjadi prioritas utama. Namun bagi Indonesia yang notabene merupakan negara global south dan bergantung pada alam, isu lingkungan sangatlah penting karena masa depan Indonesia bergantung pada kelangsungan lingkungan. “Bayangkan jika semua berpikiran hal yang sama (keluar dari Paris Agreement mengikuti Amerika Serikat), maka akan menciptakan tragedi”, ujar dosen Prodi Hubungan Internasional UNPAR ini. Menurut Apresian, keluarnya Indonesia dari Paris Agreement sama saja mengkhianati prinsip-prinsip yang sudah disepakati dari Konferensi Asia Afrika.


Dr. Ahmad Rizky M. Umar yang bergabung secara daring dari Inggris melihat relevansi Konferensi Asia Afrika dengan kondisi politik global saat ini. Indonesia merupakan salah satu pencetus dari diadakannya Konferensi Asia Afrika yang diadakan hampir 70 tahun silam. Terdapat beberapa hal yang tercetuskan dalam Konferensi Asia Afrika–kemerdekaan, kesetaraan antar ras, kesetaraan antar budaya, dekolonisasi, hingga munculnya Third World Nationalism. Terkait relevansinya dengan Indonesia saat ini, Umar menyatakan bahwa Indonesia perlu mengambil kembali kepemimpinan tatanan internasional seperti yang Indonesia lakukan tujuh puluh tahun silam. Terdapat enam poin penting yang dikemukakan Umar tentang apa saja yang harus Indonesia lakukan dalam mengambil tonggak kepemimpinan tatanan internasional: (i) visi strategis terhadap tatanan internasional, (ii) menghadapi ‘ketegangan’ yang ada melalui diplomasi, (iii) mengatasi tantangan utama geopolitik, geostrategis, dan geoekonomi, (iv) mengambil tanggung jawab peran kepemimpinan seperti presidensi di ASEAN, (v) menginisiasi kerjasama trans-regional, dan (vi) mengedepankan multilateralisme.